Belakangan ini, celeng yang
aslinya hidup di hutan belantara mendadak tenar. Dikabarkan bahwa naiknya harga
daging sapi membuat segelintir pengusaha daging yang curang mengakali kenaikan
harga daging sapi dengan mencampur daging sapinya dengan daging celeng.
Meskipun celeng merupakan salah
satu sumber pangan yang umum dikonsumsi di beberapa daerah di Indonesia, tapi
keberadaan daging celeng sebagai alternative bagi pedagang daging yang culas
tentu saja meresahkan sebagian besar masyarakat Indonesia. Selain diharamkan
dalam ajaran Islam, mengkonsumsi daging celeng juga sangat tidak dianjurkan
karena alasan kesehatan.
Celeng memang tidak termasuk
dalam kategori jenis hewan yang umum dikonsumsi. Sehingga dengan sendirinya,
untuk bisa diperdagangkan, daging celeng biasanya masuk ke pasar daging melalui
jalur “bawah tanah”, alias ilegal. Daging celeng yang diselundupkan (ilegal)
cenderung tak layak konsumsi karena kondisinya sudah membusuk atau rusak. Menurut
Kepala Sub Humas Badan Karantina Pertanian, Kementerian Pertanian, Arief
Cahyono, mengkonsumsi daging celeng ilegal sangat bahaya bagi kesehatan, karena
daging celeng yang dipotong tidak sesuai standar, dan proses pengirimannya tak
memenuhi kaidah kesehatan, sehingga berpotensi terkontaminasi bakteri, virus,
larva dan lainnya. Bila dikonsumsi, dapat menyebabkan keracunan, diare berat
akibat E coli, salmonellosis hingga cacing babi yang menyebabkan berbagai
gangguan kesehatan pada manusia. Kepala Badan Karantina Kementerian Pertanian
Banun Harpini juga mengatakan bahwa, "Hingga
saat ini, konsumsi daging celeng untuk alasan apapun, termasuk untuk pakan
hewan dinilai berbahaya”.
Daging celeng banyak mengandung
cacing sejenis cacing pita yang berdampak negatif bagi kesehatan manusia. Dalam
ilmu biologi modern diketahui, bahwa babi merupakan inang yang baik bagi
kembang-biak beragam parasit dan penyakit berbahaya, misalnya, flu babi. Sistem
biokimia babi hanya mengeluarkan 2% kandungan asam uratnya, sisanya 98% senyawa
beracun itu bersarang di tubuhnya. Penelitian membuktikan, babi adalah binatang
paling adaptif, cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan liar hingga dapat
berubah menjadi babi hutan yang buas dan bertaring. Maka dari itu, peredaran
daging celeng, yang tidak menggunakan sertifikat sanitasi atau sertifikat
karantina lainnya, dianggap sebagai peredaran ilegal. Hal itu juga tertuang
dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan
Tumbuhan. Ancaman pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku pelanggaran
tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 31 UU No. 16 Tahun 1992 berupa pidana
penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp 150 juta.
Ditemukannya bakso yang dicampuri
dengan daging babi telah sampai di telinga masyarakat. Kini, masyarakat
khususnya pencinta bakso cukup resah akan kabar yang diberitakan melalui
berbagai media, seperti media cetak dan elektronik tersebut. Karenanya bagi
para pedagang daging yang berpikiran untuk berbuat curang, sebaiknya dipikirkan
lagi. Sementara bagi para pecinta kuliner yang berbahan dasar daging, sebaiknya
hati-hati dalam memilih olahan daging sapi yang hendak dikonsumsi. Karena perbedaan fisik daging celeng dengan
daging sapi secara umum akan terlihat sama, namun bila diperhatikan ada
beberapa perbedaan.
Pertama adalah serat daging celeng jauh lebih halus
dibandingkan daging sapi. Sedangkan perbedaan kedua adalah warna daging celeng
merahnya lebih gelap daripada daging sapi. Perbedaan yang paling khas adalah
bau daging celeng bau amis dan apek sedangkan sapi tidak. tetapi ciri-ciri itu
bisa dimanipulasi oleh pengepul dengan cara mencampur daging celeng dengan
darah sapi. Sehingga baunya akan tercium menjadi bau daging sapi, kalau sudah
seperti ini bakal makin sulit mengenali ciri-cirinya.



Tidak ada komentar:
Posting Komentar